Universitas Tadulako (UNTAD) menerima kunjungan penting dari perwakilan perusahaan Jepang, JP Nusantara dan Green Power, untuk membahas potensi lahan kelor di kampus UNTAD. Pertemuan ini dihadiri langsung oleh Rektor Universitas Tadulako, didampingi oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH UNTAD) serta para peneliti kelor dari universitas tersebut. Kunjungan ini menandai langkah awal dalam kolaborasi strategis untuk mengembangkan budidaya kelor sebagai komoditas ekonomi, ekologi, dan sosial yang berkelanjutan.
Kunjungan ini diawali dengan sambutan dari Rektor Universitas Tadulako yang menyampaikan apresiasi atas minat dan dukungan dari pihak Jepang terhadap pengembangan kelor di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, delegasi dari Jepang yang dipimpin oleh Isono Kenichi, CEO JP Nusantara Co. Ltd, serta Minakata, CEO Green Power, mempresentasikan visi mereka terkait proyek kelor di Indonesia.
JP Nusantara merupakan perusahaan konsultan Jepang yang berfokus pada menjembatani kolaborasi antara Jepang dan Indonesia, baik dalam aspek investasi, produk, maupun pengembangan proyek strategis. Sementara itu, Green Power adalah perusahaan Jepang yang secara khusus didirikan untuk mendukung proyek kelor di Indonesia. Green Power bekerja sama dengan mantan pimpinan Forval yang telah pensiun untuk menghubungkan proyek ini dengan pasar carbon credit di Jepang. Hingga saat ini, sudah ada 11 klien potensial dari Jepang yang bersedia membeli carbon credit dari proyek kelor.





Setelah sesi presentasi, acara dilanjutkan dengan survei potensi lahan kelor di lingkungan kampus UNTAD. Para delegasi meninjau lahan yang bisa dikembangkan untuk budidaya kelor sebagai bagian dari program penghijauan dan mitigasi perubahan iklim. Tidak hanya itu, mereka juga mengunjungi pusat pengolahan kelor yang dikelola oleh UMKM setempat dan memiliki keterkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan oleh para akademisi UNTAD. Survei berlanjut ke kawasan Kawatuna, salah satu wilayah di Palu yang sudah lebih dulu mengembangkan perkebunan kelor secara aktif.
Kelorisasi Kampus Tadulako: Solusi Ekonomi dan Ekologi
Muhd Nur Sangadji, selaku Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Tadulako, menegaskan bahwa kelor bukan sekadar komoditas pangan, tetapi juga memiliki dampak ekologis yang signifikan. Berdasarkan beberapa penelitian awal, kelor memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida hingga 20 kali lebih efektif dibandingkan tanaman lainnya. Hal ini menjadikannya sebagai solusi potensial dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan mendukung program perdagangan karbon global.
Menurut Sangadji, kelorisasi kampus Tadulako dapat menjadi langkah strategis dalam menciptakan lingkungan hijau yang mendukung visi universitas sebagai pusat penelitian berbasis lingkungan bertaraf internasional. Dengan luasnya area kampus, UNTAD memiliki peluang besar untuk mengembangkan perkebunan kelor yang berfungsi sebagai penyerap karbon sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar.
“Jika proyek ini berkembang, pengelolanya bisa berasal dari kalangan mahasiswa dan alumni. Selain menciptakan lapangan pekerjaan, juga bisa menjadi solusi dalam membantu mahasiswa memperoleh penghasilan tambahan, bahkan mencegah keterlambatan pembayaran UKT,” ungkap Sangadji.
Peluang Pasar dan Tantangan Pengembangan Kelor
Saat ini, kelor memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan. Harga daun kelor basah di pasaran berkisar Rp5.000 per kilogram, sementara kelor kering bisa mencapai Rp50.000 hingga Rp75.000 per kilogram. Produk olahan seperti teh kelor dihargai sekitar Rp30.000 per kotak, dan kapsul kelor dapat mencapai Rp300.000 per botol. Selain itu, dengan adanya mekanisme perdagangan karbon, nilai ekologis kelor semakin meningkat sebagai aset yang dapat dikonversi menjadi kompensasi finansial bagi pelaku budidaya.
Sangadji juga mengungkapkan bahwa pihak Jepang menantang UNTAD untuk dapat memasok 5 ton daun kelor setiap bulan. Namun, tantangan tersebut masih perlu diwujudkan melalui strategi budidaya yang masif dan berkelanjutan. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan menggerakkan masyarakat Palu untuk menanam kelor di pekarangan rumah mereka. Jika setiap rumah tangga di Palu menanam 10 pohon kelor, maka dalam skala kota, jumlah pohon dapat mencapai 600.000, yang setara dengan sekitar 120 hektar lahan hijau.
Mendorong Kelorisasi Tapal Batas
Selain mengembangkan kelorisasi di lingkungan kampus, PPLH UNTAD juga mengusulkan konsep kelorisasi tapal batas, yakni penanaman kelor di lahan-lahan kritis dan kosong. Dengan prinsip economically profitable, technically possible, socially acceptable, dan local resources supportable, kelor diharapkan menjadi inovasi yang dapat diterapkan di berbagai wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga keseimbangan ekologi.
Kolaborasi antara Universitas Tadulako dengan JP Nusantara dan Green Power membuka peluang besar bagi pengembangan kelor di Sulawesi Tengah. Jika proyek ini berhasil direalisasikan, tidak hanya lingkungan kampus yang mendapatkan manfaat, tetapi juga masyarakat luas yang dapat berpartisipasi dalam ekonomi hijau berbasis kelor. Dengan adanya dukungan riset akademis, teknologi pengolahan, serta akses pasar global, kelorisasi diharapkan menjadi gerakan berkelanjutan yang membawa perubahan nyata bagi lingkungan dan ekonomi lokal. AA & Iqra