Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) menggelar Workshop Pancasila, Konstitusi, dan Ketatanegaraan. Bekerjasama dengan Universitas Tadulako (Untad), workshop itu diselenggarakan di Swiss-Bell Hotel Palu, pada 30 September dan 1 Oktober 2016.
Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Hj Nurmawati Dewi Bantilan SE MHum, menyampaikan bahwa kegiatan itu dilaksanakan untuk menggali informasi dari akademisi Untad terkait penataan sistem ketatanegaraan, tata cara perubahan UUD 1945, dan reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN.
Berkenaan dengan itu, MPR RI, melalui Badan Pengkajian melaksanakan workshop di berbagai daerah dengan melibatkan akademisi untuk menggali berbagai saran dan masukan. Pelibatan akademisi ini, ujar Nurmawati Bantilan, agar saran dan masukan yang didapatkan benar-benar murni berdasarkan pertimbangan ilmiah.
“Kita semua tahu sendiri, akademisi ini setiap saat bergelut dengan dunia kampus yang berciri khas ilmiah sehingga pendapat dan saran yang diberikan pun berdasarkan penelahaan ilmiah. Tujuan kami dari MPR dengan pelibatan akademisi ini agar saran, masukan, dan pendapat terkait topik workshop ini tidak dipengaruhi oleh aspek dan unsur politis,” jelas Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulawesi Tengah ini.
Untuk itu, diharapkan dalam dua hari workshop nanti benar-benar didapatkan hasil yang dapat dijadikan bahan pijakan dan kajian bagi MPR RI terkait kebijakan konstitusi dan ketatanegaraan. Ini karena mengubah UUD 1945 itu bukan sebuah perkara mudah sebab membutuhkan kajian yang komperhensif.
Sementara itu, Dr H Lukman Nadjamuddin MHum, yang dalam kesempatan itu mewakili Rektor Untad menyampaikan bahwa Untad telah mempersiapkan akademisi dari beberapa fakultas untuk mengikuti workshop itu. Akademisi yang hadir, jelas Dr Lukman, berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Hukum, dan Fakultas Ekonomi. Tidak lupa, Dr Lukman juga menyampaikan amanat dan ungkapan terima kasih dari Rektor Untad, Prof Dr Ir H Muh Basir Cyio SE MS kepada MPR RI yang kembali dan terus memberikan kepercayaan kepada Untad dalam menjalin berbagai kerjasama.
Lebih lanjut, Dr Lukman juga menyinggung bahwa dari aspek kesejarahan, sistem perundang-undangan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan sehingga jika nanti terjadi perubahan, hal itu tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Namun, yang terpenting perubahan itu dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian yang komperhensif.
Senada dengan itu, rencana pemberlakuan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), ujar Dr Lukman, bukanlah sesuatu yang baru. Ide GBHN sendiri, jelas Dr Lukman, telah dicetuskan oleh Soepomo sebelum pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Namun, Presiden Soekarno lebih memilih istilah lain, meskipun marwahnya sama dengan GBHN sehingga konsep itu baru digunakan pada masa Orde Baru, dan tidak lagi digunakan sejak masa Reformasi.
“Jadi, jika sekarang ada rencana penggunaan, bukanlah sesuatu yang baru dan tabu. Inilah bagian dari dinamika dan dialektika bernegara. Hal ini juga sama dengan model dialektika Hegel terkait tesis, antitesis, dan sintesis,” ujar Dr Lukman.
Turut hadir dalam kegiatan itu, Wakil Sekretaris Jenderal MPR RI, Hj Selfi Zaini SE, dan Kepala Biro Keuangan MPR RI, Hj Suryani SH. (tq)