Eko, itulah sapaan akrabnya, seorang mahasiswa yang super nekat untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), berbagai cara telah di tempuh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun uang kuliah tunggalnya (UKT) yang tiap semester di bayarkan.
Berjualan syomay sebenarnya bukan pekerjaan yang ia lakoni pertama kalinya, sekitar satu setengah tahun ia telah berada di palu namun ia telah mencoba berbagai pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya di tahah rantau.
Eko Purnairawan merupakan seorang mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untad angkatan 2014.
Ia menceritakan ketika pertama masuk kuliah di Untad tahun 2014 lalu, Eko sama sekali tidak memiliki uang untuk berkuliah di universitas, dengan keterbatasan itulah membuatnya melakukan berbagai cara untu mendapatkan biaya menuju kota Palu.
“Lalu saat saya ingin kuliah tidak ada biaya sama sekali, lalu saya berfikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang menuju palu untuk kuliah. Salah satu cara saya waktu itu dengan menjual ternak Kambing yang pada waktu itu masih dipelihara dari saat sekolah,” tutur Eko.
Namun biaya bukanlah masalah utama untuk kuliah tetapi yang utama ia pikirkan saat itu yakni izin dari kedua orang tua tercinta. Ia mengenang setahun silam ketika hendak kuliah tetapi kedua orang tuanya tidak mengizinkan.
“Sebenarnya biaya bukan kendala utama bagi saya saat itu, tetapi yang paling mengganggu pikiranku saat itu karna orang tua tidak mengizinkan kuliah karena mereka tidak punya biaya katanya,” kenangnya.
Untuk mendapatkan restu untuk kuliah ketika itu, Eko membutuhkan waktu sebulan untuk meluluhkan hati kedua orang tuanya itu. Sebenarnya sang orang tua bukannya tak mengizinkan tetapi karena kendala biaya. Namun Eko berhasil meyakinkan dan ketika hendak berangkat menuju Palu, ia membuat kesepakatan dengan orang tua yakni hanya biaya awal yang ditanggung. “Ya waktu itu buat kesepakatan, biaya awal ditanggung, biaya selanjutnya harus cari sendiri.” Singkat Eko.
Masih tentang Eko, mahasiswa yang mengaku hobby bermain musik itu membeberkan pengalamnanya saat berjualan selama kuliah. Ia rela melakukan apapun yang halal untuk tetap melanjutkan studinya di Untad.
Ketuka tiba di Palu, saat itu sudah kehabisan uang untuk pembayaran urusan kuliah dan uang hasil jual Kambing pun telah habis. akhirnya ia berinisiatif meminjam kepada seseorang untuk biayanya. Namun utang itu tidaklah dibayar menggunakan uang cash, tetapi ia harus bekerja dengan orang tersebut untuk melunasi hutangnya. “Kehabisan uang saat itu terpaksa jual jasa dengan orang supaya dipinjamkan uang,” singkat Eko.
Setelah bekerja sebagai penjual Batagor waktu itu tak bertahan lama dikarenakan usaha itu tidak mendapatkan untung yang baik, bahkan sering rugi dan tidak mendapatkan pengembalian modal.
“Sempat juga ditawarkan kerjaan sama orang jualan Batagor, tapi tidak lama karena usahanya tidak untung-untung, hanya rugi terus bahkan modal tidak kembali. Saat itu saya putuskan untk berhenti jualan.” Ujarnya.
Setelah berjualan Batagor, ia kembali mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya saat itu, Eko kembali bekerja dengan berjualan Gorengan di tepi jalan seperti Pisang Molen, Tahu Isi dan Tempe. Namun sama seperti sebelumya ia lagi-lagi tidak cocok dengan bekerja sebagai penjual gorengan.
Setelah itu ia sempat memutuskan untuk tak bekerja lagi, namun desakan kebutuhan hidup sehari-hari semakin sulit, sehingga berfikir untuk berbuat sesuatu yang menghasilkan uang, maka tibalah ia kepada pekerjaannya saat ini yakni berjualan syomay.
Iapun saat ini bekerja sebagai penjual syomay di kampus Untad, saat ditanyai bagaimana sampai bisa berjualan syomay. Ia mengaku memang sedang mencari pekerjaan saat itu lalu bertemulah dengan Mas Jinawar yang juga merupakan penjual syomay yang sering mangkal di Fkip.
Posisinya sebagai mahasiswa dan harus berjualan syomay bukanlah sesuatu yang mudah. Eko harus pandai memanajemen waktu dengan baik, jika tidak maka kuliah bahkan berjualan syomay pun bisa tidak berjalan dengan baik. Dengan jadwal kuliah tiap hari masuk pada pagi hari maka waktu untuk ia jualan dan mengumpulkan uang receh disore hari.
Usai kuliah lalu kembali ke rumah tempat ia menumpang itu biasanya pukul 15.00 Eko langsung mempersiapkan segala sesuatunya untuk kembali kekampus untuk berjualan mencari receh kebutuhan hidup di palu dan memenuhi keperluan kuliahnya seperti fotocopy, buku, biaya print hingga mengumpulkan untuk pembayaran UKT.
“Pulang kampus baru jualan, biasanya pulang jam 3 sore langsung mempersiakan trus kembali kekampus untuk jualan. Uang pembayaran semester juga saya kumpul dari situ kalau lagi rame jualannya kalau tidak ya tidak bisa paling untuk kebutuhan kecil-kecil,” katanya.
Meskipun Eko saat ini menerima subsidi UKT yakni pengurangan uang kuliah namun ia harus membayar lagi. Ia hanya disubsidi enam ratus ribu rupiah, berarti ia harus mengumpulkan satu juta lagi untuk dibayarkan tiap semesternya.
Ia bercerita pengalaman pilunya berjualan syomay ia mengaku diberi 20 % dari yang laku tiap ia jualan yang merupakan kesepkatan dengan sang pemilik usaha, namun itu termasuk dengan biaya oprasional kendaraan.
Selain itu ia kerap kehilangan barang dagangannya itu yang merupakan ulah dari pelanggan yang tidak jujur. Beberapa biasanya membayar tidak sesuai dengan yang dimakan, bahkan pernah ia mengalami kerugian seratus ribu lebih.
“Dapat 20 % tiap jualan tapi belum lagi uang bensin, itupun kalau jualanya tidak hilang, kalau hilang harus ganti rugi lagi. Kalau dapat sialnya hampir-hampir tidak ada untung atau bahkan rugi biasa jualan 2 hari untuk menutupi kerugian,” keluhnya.
Saat ditanyai tentang berjualan keliling universitas ia sama sekali tidak merasa malu ataupun minder dengan teman-temanya dengan profesi itu.
“Saya tidak malu lagian tidak mencuri kok, saya tidak malu dengan teman-teman sekelas saya meskipun mereka melihat. Tetapi saya khawatir mereka yang malu dengan profesiku yang juga sebagai penjual syomay,” tutur Eko.
Ketika disinggung tentang uang kiriman orang tua, ia sejenak terdiam seolah memikirkan sasuatu. Setelah itu ia berusaha menjawab dengan nada sangat pelan bahkan hampir tidak terdengar, ketika diminta mengulangi apa yang diucapkan tadi barulah dapat terdengar dengan baik.
Ia mengatakan saat ini ia sudah tidak mendapatkan uang kiriman dari kampung, lalu kemudian ia bercerita pernah medapatkan kiriman dari orang tua berupa sebuah amplop namun ia begitu sangat sedih ketika membuka amplop itu ada uang receh.
“Saya pernah dapat kiriman dari orang tua, tapi ketika saya menangis saat membuka amplop itu. Isinya 57.000 ada uang pecahan 20.000 dua lembar, pecahan 5.000 ada dua lembar pecahan 2000 dan 1000 juga ada, trus sisanya uang koin pecahan 500 empat buah,” uangkapnya sambil tertunduk.
Diakhir wawancara ia berharap dengan universitas dan semua pemamngku kepentingan untuk tetap memperhatikan orang-orang yang tidak mampu namun memiliki tekad untuk kuliah.
“Saya berharap dengan universitas dan semua instansi pemerintah maupun swasta untuk memperhatikan orang-orang kecil, apalagi yang punya tekad kuat untuk sekolah,” tutupnya mengakhiri perbincangan.