Dengan keramahannya yang selalu terlihat, guru besar fakultas hukum ini menyambut kami di ruangannya. Memegang amanah sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof Sutarman tengah sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya. Setelah berpamitan untuk melakukan wawancara, ia akhirnya bersedia meluangkan waktu di tengah tumpukan kesibukannya saat itu.
Pria kelahiran Donggala 58 tahun silam ini, terkenal ramah pada sesama juga sederhana dalam setiap penampilannya. Saat itu, ia berkisah tentang roda kehidupan yang kerap menyediakan bantuan yang sering tak terduga. Menjejaki pendidikan dari bangku sekolah hingga ke jenjang doktoral, dilaluinya dengan penuh rasa optimisme, bahwa ia tak sendirian, ada yang maha kuasa yang akan menjadi tempat mengadu dan meminta, keyakinan itulah yang menurutnya mengantarkan ia hingga saat ini.
“Saya ini dulu aslinya adalah anak yang nakal di keluarga, makanya, saat saya minta lanjut kuliah di Unhas orang tua saya kaget dan jelas tidak mengizinkan,” tutur Prof Sutarman membuka pembicaraan.
Sikap orang tuanya kala itu memang dilatarbelakangi oleh perilakunya yang tidak bisa diatur kala itu. “Bapak saya lalu bilang, jangankan di Makassar, di rumah saja saya tidak bisa di kontrol, keluar rumah magrhib pulang nanti tengah malam apa lagi di Makassar. Akhirnya orang tua saya bilang, boleh kuliah asal di Palu,” terangnya.
Sebab keinginan untuk kuliah di Universitas Hasanuddin Makassar telah menggebu, ia tak kehilangan akal untuk mengutarakan alasannya kenapa ia harus kuliah di tempat yang jauh, merantau ke tanah daeng kala itu. “Saya bilang pada orang tua, kalau hanya kuliah di Palu dekat, kapan saya sudah tidak ada uang saya bisa pulang, dan pasti tidak baik bagi proses perkuliahan saya,” kilah Prof Sutarman pada ibu bapaknya saat itu.
Beruntung, ia bertemu dengan pamannya yang juga akan melanjutkan kuliah anaknya ke Makassar, melalui pamannya lah restu kedua orang tua akhirnya ia dapat dan berangkatlah ia ke kota Makassar.
Sesampainya di sana, ternyata masalah belum selesai. Ia kembali dihadapkan pada dua pilihan untuk mengambil bidang ilmu yang akan digelutinya di perguruan tinggi. “Saya sebenarnya ingin sekali kuliah di Fakultas Ekonomi, karena saya senang menghitung, dan saya yakin, saya lulus. Sementara Ilmu Hukum, saya hanya ikut-ikutan teman yang kebetulan juga mengisi Fakultas Hukum dipilihan mereka saat mendaftar.”
Di zaman itu, penguman kelulusan tidak langsung menempatkan mahasiswa di fakultas tujuan. Masih ada matrikulasi selama tiga bulan kemudian penempatan mahasiswa di masing-masing fakultas. Saat itulah, dosen yang hobi mendengarkan musik ini dibuat merenung panjang, sebab ia lulus bukan di fakultas yang diinginkannya, ia lulus di Fakultas Hukum, pilihan cadangan yang dituliskannya hanya sebab mengikuti isian teman saat mendaftar.
“Yang ada dalam kepala saya itu, di fakultas hukum saya tidak bisa. Karena saya tidak bisa menghafal, latar belakang saya pendidikan IPA, saya senang menghitung. Bagaimana mungkin saya bisa menghafal pasal-pasal itu. Saat itu ahamdulillah saya tingga di asrama Sulawesi Tengah. Keistimewaan tinggal di asrama itu karena banyak teman. Dan teman-teman inilah yang banyak memberikan pendapat. Kata mereka, ada yang Allah kehendaki mengapa anda harus kuliah di Fakultas Hukum, disitulah saya coba merenung.”
Kemasgulan putra kelahiran Donggala ini menemukan titik terangnya, setelah seorang guru besar Unhas menyampaikan pada mahasiswa saat itu, bahwa fakultas hukum tidak mengajar mahasiswanya menjadi mahasiswa yang pintar penghafal. “Anda lihat di pengadilan hakim dan jaksa mereka itu tidak pernah menghafal, di depan mereka itu ada buku pintar yang namanya UU. Maka, bila ada masalah pencurian, mereka buka pasal-pasal pencurian. Jadi mereka itu hanya kebetulan kalau ada pasal yang dihafal, karena sering muncul baik dalam pelajaran maupun persoalan yang dihadapi. Sejak saat itulah animo saya untuk belajar ilmu hukum semakin tinggi, karena ternyata memang bukan perkara menghafal pasal,” terangnya.
Di sela-sela aktivitas kuliahnya, di kampus Universitas Hasanudin, Prof Sutarman sudah mulai berpikir tentnag masa depannya. Pikirannya telah menerawang jauh pada masa pasca kuliah. Ada banyak hal yang terus bergejolak dalam pikirannya, kemana ia akan berlabuh lepas kuliah nanti. “Saya mau kerja di mana dengan titel Sarjana Hukum nanti ? saya tidak punya koneksi, saya tidak punya orang2 besar yang bisa mengangkat saya. Tidak ada orang dalam. Atas dasar itu saya berpikir, saya harus bisa bersaing, menjadi orang yang mampu bersaing dengan orang lain yang punya koneksi. Dengan arti kata, saya harus pintar,” tegasnya.
Sejak saat itulah, Alumni Doktoral Universitas Airlangga ini menemukan titik balik mencintai disiplin ilmu yang awalnya hanya dipilihnya sepintas lalu ini. Ia mulai mencitai ilmu-ilmu hukum, gergelut dengan buku dan makalah, membaca dan menulis menjadi aktivitas yang tak lepas dari kesehariannya saat itu. “Saya sudah bertekad, mengatakan pada diri sendiri, bahwa saya tidak bisa menjadi orang kalau saya tidak pintar, sebab saya memang tidak punya kenalan orang-orang besar, saya tidak punya koneksi. Sejak saat itu, koneksi saya adalah ilmu pengetahuan,” tuturnya.
Selepas menamatkan kuliah strata satu, Prof Sutarman balik ke kampung halaman, Donggala. Sejumlah kerabat dan keluarga telah menawarkan pekerjaan padanya, tawaran demi tawaran itu satu persatu di tolaknya dengan halus, sebab ia merasa bahwa jiwanya bukan disitu. “Sejak kuliah, saya sudah merasa bahwa jiwa saya ada di dunia pendidikan,” hingga kemudian ia diterima sebagai dosen CPNS di Universitas Tadulako pada masa kepemimpinan Prof Matulada.
Setelah menamatkan jenjang strata satu di tahun 1985, tidak seperti kebanyakan orang, Prof Sutarman masih menunggu lama baru kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya. Teman-teman sejawatnya telah membantu mencarikan formulir pendaftaran dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Alhasil, formulir pendaftaran yang diberikan padanya tak pernah disentuhnya. “Karena memang waktu itu, saya belum siap lanjut kuliah, saya sampaikan ke teman-teman waktu itu, kalau sudah siap, pada waktunya saya akan lanjut kuliah,” kesiapan itu akhirnya terjawab di tahun 2003 saat ia melanjutkan kuliah lewat beasiswa yang didapatkannya di Universitas Hasanudin.
Selesai jenjang strata dua, Prof Sutarman tak lagi menunggu lama, ia langsung mengambil kesempatan melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas Airlangga Surabaya. “Di bangku Pandidikan S2 dan S3 saya menemukan banyak pelajaran. Saya merasa Allah sudah sangat baik pada saya yang bukan siapa-siapa ini,” pendidikan S2 dan S3 ditempuhnya lewat beasiswa yang di dapatkannya, bahkan sejumlah bantuan ia terima saat tengah melanjutkan studi.
“Alhamdulillah, saat selesai S3 saya masih bisa beli rumah dan beli mobil. Saya yakin, semua ini atas kemurahan Allah pada saya. Saya selalu yakin, Allah akan selalu menolong hamba-hambanya yang mau belajar,” terangnya.
Di akhir wawancara, Prof Sutarman berpesan, jangan pernah lupakan Allah, niscaya Ia tak akan melupakan anda. “Pegang itu, dan lihatlah, anak nakal dari Donggala ini, kini sudah jadi guru besar,” tutupnya. af